
Dalam masa kekosongan itu, Tureli Nggampo Salisi mengangkat dirinya sendiri menjadi Raja Bima dengan gelar Ruma Ma Ntau Asi Peka. Saat itu dia berdalih karena Jena Teke masih kecil. Tindakan Salisi sudah jelas melanggar ketentuan Hadat karena melampaui dan mengingkari sumpah turun-temurun yang dibuat oleh Ruma Manggampo Donggo dan Bicara Bilmana. Sebenarnya sumpah itu telah diketahui oleh Salisi karena senantiasa dibaca dan diingatkan pada saat-saat tertentu. Karena itu jelaslah bahwa tindakan Salisi mendapat murka leluhur. Salisi pun mengetahui akan keinginan rakyat dan Hadat bahwa putra mahkota (Jena Teke) kelak diangkat menjadi raja. Salisi mulai mencari akal dan mengatur siasat untuk melenyapkan keponakannya sendiri demi memenuhi syahwatnya yang ingin memegang tampuk kekuasaan. Salisi memerintahkan Bumi Luma RasanaE guna menyiapkan perburuan di padang rumput Wera. Salisi bersama keponakannya serta diiringi pejabat hadat dan Hulubalang ikut serta dalam perburuan yang direncanakan. Di tengah asyiknya berburu, Salisi memerintahkan anak buahnya untuk membakar sekeliling padang rumput Mpori Wera. Keponakannya yang asyik berburu disertai pengawalnya yang setia tidak mempunyai kesempatan untuk meloloskan diri dari kobaran api. Akhirnya Jena Teke terpanggang oleh amukan si jago merah bersama pengawalnya. Sekembalinya ke istana, Salisi mengumumkan kepada Hadat dan rakyat bahwa Jena Teke telah hilang dalam perburuan. Salisi pun telah berhasil menyingkirkan pewaris kerajaan yang sah. Jena Teke memiliki seorang adik yang masih kecil bernama La Kai, sekaligus sebagai pewaris kerajaan yang sah. Oleh Salisi, La Kai dianggap sebagai faktor penghalang ambisinya menjadi raja. Para pejabat yang masih setia dengan keturunan raja yang sah, tanggap dengan ambisi Salisi, sehingga La kai disembunyikan ke Desa Teke. Persengkongkolan antara Raja Salisi dengan Bumi Luma RasanaE yang berambsi pula menjadi raja setelah Salisi tiada, sehingga ikut berpartisipasi melenyapkan seluruh keturunan ahli waris kerajaan. Putera La Kai dianggap sebagai kendala besar yang akan menentukan sukses tidaknya ambisi mereka menjadi penguasa, karenanya harus dibunuh. Niat dan rencana tersebut sempat bocor pada pejabat Hadat yang setia pada putra mahkota yakni Bumi Paroko. Bumi Paroko tidak menginginkan kejadian yang tidak berprikemanusiaan di Mpori Wera itu terulang kembali. Mereka bertindak cepat memindahkan La Kai dari persembunyiannya di Desa Teke ke Desa Kalodu di kawasan Wawo Tengah. Proses pemindahan dipimpin oleh Rato Waro Bewi pemilik Lewisape.
Kedatangan Agama Islam
Setelah dua tahun kemelut berjalan, utusan Raja Gowa (Sulawesi Selatan) terdiri dari para mubaliq Islam tiba di Sape, Bima 1028 H (1617 M). Pada malam harinya, mereka menemui Ruma Bumi Jara (penguasa di Sape) untuk menyampaikan bahwa mereka ingin memberi bingkisan pada Mangku Bumi atau Tureli Nggampo. Utusan belum mengetahui sebelumnya bahwa Mangku Bumi telah meninggal dunia. Para utusan tersebut selanjutnya diajak oleh Ruma Bumi Jara menemui adik kandung Mangku Bumi , Rato Waro Bewi. Saat utusan datang, La Mbila bertugas menjaga keselamatan La Kai dalam persembunyian di Desa Kalodu. Bingkisan Ci’lo (piring emas) diserahkan kepada Rato Waro Bewi, sedangkan kain Bugis dan keris untuk La Mbila (putra dari Rato Waro Bewi). Surat dari Daeng Malabo dibaca bersama dan ajakan yang termuat dalam surat tersebut dapat diterima. Kejadian ini mengingatkan kepada perjanjian antara Raja Ma Ntau Asi Sawo dengan Sultan Gowa yang menyatakan kesediaannya menerima agama Islam dengan kata lain pernyataan itu baru dapat direalisasi oleh generasi selanjutnya. Nampaknya para pejabat Hadat terutama Bumi Jara Sape bersama Bumi Paroko termasuk kelompok yang menentang Raja Ma Ntau Asi Peka secara diam-diam. Mereka saling berhubungan satu dengan lainnya dalam melindungi putera La Kai yang disembunyikan di Desa Kalodu. Mereka merencanakan untuk menobatkan putera La Kai sebagai Jena Teke. Rencana itu menjadi lebih matang bertepatan dengan kedatangan utusan Sultan Gowa. Melalui utusan mereka meminta suaka politik dan bantuan militer dari Sultan Gowa. Di desa Kalodu empat bersaudara keturunan raja, yakni putera La Kai Ruma Ma Bata Wadu, La Mbila, Bumi Jara Sape dan Manuru Bata bersumpah setia yang dikenal dengan “Sumpah Darah Daging”. Pada tanggal 15 rabiul awal 1030 H (1620 M) keempat keturunan Raja Bima masuk Islam di Sape. Pengucapan 2 kalimat syahadat diikuti pula oleh para pengikut dan pengawal setia. Saat itu empat keturunan Raja Bima menyesuaikan namanya menurut Islam, masing-masing :
1). Putera La Kai = Abdul Kahir, Ruma Ma Bata Wadu
2). La Mbila = Jalaluddin
3). Bumi Jara Sape = Awaluddin
4). Manuru Bata = Sirajuddin
Dalam perjalanan kembali ke Desa Kalodu, di Raba Parapi Desa Parangina, Sape, mereka mengucapkan sumpah antara keempat keturunan raja dengan para pengikut dan pengawal setia yang telah memeluk agama Islam. Dengan didahului menyebut nama Allah dan Rasulullah mereka bersumpah :
1). Memperkokoh kesetiaan kepada putera mahkota Abdul Kahir.
2). Seorang dari mereka tidak boleh tunduk kepada perintah orang lain termasuk Raja Ma Ntau Asi Peka.
3). Anak cucu mereka terikat dengan sumpah.
4). Jika ada yang melanggar sumpah sama halnya dengan minum racun.
Dari Raba, keempat keturunan raja bersama empat gurunya diiringi para pengikutnya melanjutkan perjalanan ke Desa Kalodu melalui Desa Sari. Di sana para mubaliq mengajak penduduk desa untuk masuk Islam. Untuk menghimpun jamaah serta memperingati kejadian bersejarah itu di Desa Kalodu didirikan masjid. Masjid itu dibangun berbentuk segi empat, tiada bermihrab serta bertiang delapan dengan persegi delapan pula.
1). Bentuk segi empat pada masjid itu melambangkan keempat anak raja yang telah memeluk agama Islam.
2). Tiang delapan batang melambangkan kedelapan orang sepakat mempersatukan kekuatan guna mengemban tugas-tugas pada massa yang akan datang.
3). Tiang persegi delapan melambangkan penjuru angin yang bermakna dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun mereka tetap bersatu.
4). Tiada bermihrab merupakan siasat agar keberadaan masjid tidak mudah dikenal musuh yakni pengikut Raja Salisi.

1). Kedua ulama menyanggupi untuk mendatangkan mubaliq pengganti ke Bima.
2). Sultan mengucapkan sumpah setia kepada gurunya.
Perjanjian itu diucapkan di hadapan Hadat dan rakyat di saat berpisah. Sultan Abdul Kahir tidak sempat menyongsong sendiri kedatangan mubaliq anak cucu gurunya karena keburu mangkat.
Menurut Dag Boek Raja Gowa dan Tallo, Sultan Abdul Kahir Rumata Ma Bata Wadu mengkat pada tanggal 14 Desember 1640 Masehi. Sultan dimakamkan di Doro Nteli di pemakaman Tanah Taraha.
Kerajaan Bima era Islam yang penuh kedamaian dibangun melalui pengorbanan besar, penderitaan panjang dengan cucuran air mata, keringat dan darah. Sejak Sultan Abdul Kahir Rumata Ma Bata memegang tampuk kekuasaan, hubungan Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa semakin erat. Hubungan erat ini dibuktikan dengan jalinan pernikahan antara Sultan Abdul Kahir dengan bangsawan Kerajaan Gowa. Berikut urutan pernikahan dari silsilah kedua kerajaan :
1). Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I) menikah dengan Daeng Sikontu, Putri Karaeng Kasuarang (adik ipar Sultan Alauddin) pada tahun 1625. Pernikahan ini melahirkan Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke-II).
2). Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke- II) menikah dengan Karaeng Bonto Je’ne (adik kandung Sultan Hasanuddin) tanggal 13 April 1646. Pernikahan ini melahirkan Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) pada tahun 1651.
3). Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) menikah dengan Daeng Ta Memang anaknya Raja Tallo pada tanggal 7 Mei 1684. Dari pernikahan tersebut melahirkan Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke-IV).
4). Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke IV) menikah dengan Fatimah Karaeng Tanatana (putri Karaeng Bessei) pada tanggal 8 Agustus 1693. Pernikahan tersebut melahirkan Sultan Hasanuddin (sultan Bima ke- V).
5). Sultan Hasanuddin (Sultan Bima ke- V) menikah dengan Karaeng Bissa Mpole (anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto Mate’ne) pada tanggal 12 september 1704. Dari pernikahan ini melahirkan Sultan Alaudin Muhammad Syah pada tahun 1707 (Sultan Bima ke- VI).
6). Sultan Alaudin Muhammad Syah (Sultan Bima ke- VI) menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji (putrinya Sultan Sirajuddin, Gowa) pada tahun 1727. Pernikahan ini melahirkan Kumala Bumi Pertiga dan Abdul Kadim yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- VII pada tahun 1747. Ketika itu beliau baru berumur 13 tahun. Kumala Bumi Pertiga putrinya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji ini kemudian menikah dengan Abdul Kudus (putra Sultan Gowa ) pada tahun 1747. Pernikahan ini melahirkan Amas Madina Batara Gowa ke-II.
7). Sultan Abdul Kadim yang lahir pada tahun 1729 (isterinya tidak terlacak) melahirkan Sultan Abdul Hamid pada tahun 1762 dan Sultan Abdul Hamid diangkat menjadi Sultan Bima ke- VIII pada tahun 1773.
8). Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII) dari pernikahannya ( istrinya tidak terlacak) melahirkan Sultan Ismail pada tahun 1795. Ketika Sultan Abdul Hamid meninggal dunia pada tahun 1819, pada tahun ini juga Sultan Ismail diangkat menjadi Sultan Bima ke- IX.
9). Sultan Ismail (Sultan Bima ke- IX) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak) melahirkan Sultan Abdullah pada tahun 1827.
10). Sultan Abdullah (Sultan Bima ke- X) menikah dengan Sitti Saleha Bumi Pertiga, putrinya Tureli Belo. Dari pernikahan ini melahirkan Abdul Aziz dan Sultan Ibrahim.
11). Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) dari pernikahannya melahirkan Sultan Salahuddin yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- XII pada tahun 1888 dan memimpin kesultanan hingga tahun 1917.
12). Sultan Salahuddin (Sultan Bima ke- XII) sebagai Sultan Bima terakhir dari pernikahannya melahirkan Abdul Kahir II (Ama Ka’u Kahi) yang biasa dipanggil dengan Putra Kahi dan St Maryam Rahman (Ina Ka’u Mari). Putra Kahir ini kemudian menikah dengan putri dari keturunan Raja Banten (saudari kandung Ekky Syachruddin). Dari pernikahannya melahirkan Fery Zulkarnaen.

0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !