Headlines News :

Featured Post 7

Home » » Kerajaan Bima Bangkit Kembali Bersama Islam

Kerajaan Bima Bangkit Kembali Bersama Islam

Written By Unknown on Jumat, 14 Februari 2014 | 07.57

Menjelang akhir abad ke 16 merupakan puncak kemakmuran Kerajaan Bima di bawah kekuasaan Raja Ma Ntau Asi Sawo. Pada masanya diadakan perjanjian persahabatan dengan Raja Gowa  bahwa Raja Bima tidak mengadakan hubungan dagang dengan Kompeni dan Raja Bima bersedia  menerima Islam. Namun Raja Ma Ntau Asi Sawo mangkat sebelum memeluk agama Islam. Raja Ma Ntau Sawo memiliki dua putra, yang tertua sudah dilantik menjadi Raja Muda (Jena Teke) yang kemudian dikenal dengan nama Ruma Ma Mbora di Mpori Wera (raja yang meninggal dunia di padang rumput Wera).  Adiknya bernama La Kai yang masih kecil. Jabatan Tureli Nggampo dipangku oleh pamannya yang bernama Salisi.

Dalam masa kekosongan itu, Tureli Nggampo Salisi mengangkat dirinya sendiri menjadi Raja Bima dengan gelar Ruma Ma Ntau Asi Peka. Saat itu dia berdalih karena Jena Teke masih kecil. Tindakan Salisi sudah jelas melanggar ketentuan Hadat karena melampaui dan mengingkari sumpah turun-temurun yang dibuat oleh Ruma Manggampo Donggo dan Bicara Bilmana. Sebenarnya sumpah itu telah diketahui oleh Salisi karena senantiasa dibaca dan diingatkan pada saat-saat tertentu. Karena itu jelaslah bahwa tindakan Salisi mendapat murka leluhur. Salisi pun mengetahui akan keinginan rakyat dan Hadat bahwa putra mahkota (Jena Teke) kelak diangkat menjadi raja. Salisi mulai mencari akal dan mengatur siasat untuk melenyapkan keponakannya sendiri demi memenuhi syahwatnya yang ingin memegang tampuk kekuasaan. Salisi memerintahkan Bumi Luma RasanaE guna menyiapkan perburuan di padang rumput Wera. Salisi bersama keponakannya serta diiringi pejabat hadat dan Hulubalang ikut serta dalam perburuan yang direncanakan. Di tengah asyiknya  berburu, Salisi memerintahkan anak buahnya untuk membakar sekeliling padang rumput Mpori Wera. Keponakannya yang asyik berburu disertai pengawalnya yang setia tidak mempunyai kesempatan untuk meloloskan diri dari kobaran api. Akhirnya Jena Teke terpanggang oleh amukan si jago merah bersama pengawalnya. Sekembalinya ke istana, Salisi mengumumkan kepada Hadat dan rakyat bahwa  Jena Teke telah hilang dalam perburuan. Salisi pun telah berhasil menyingkirkan pewaris kerajaan yang sah. Jena Teke memiliki seorang adik yang masih kecil bernama La Kai, sekaligus sebagai pewaris kerajaan yang sah.  Oleh Salisi, La Kai dianggap sebagai faktor penghalang ambisinya menjadi raja. Para pejabat yang masih setia dengan keturunan raja yang sah, tanggap dengan ambisi Salisi, sehingga La kai  disembunyikan ke Desa Teke. Persengkongkolan antara Raja Salisi dengan Bumi Luma RasanaE yang berambsi pula menjadi raja setelah Salisi tiada, sehingga ikut berpartisipasi melenyapkan seluruh keturunan ahli waris kerajaan. Putera La Kai dianggap sebagai kendala besar yang akan menentukan sukses tidaknya ambisi mereka menjadi penguasa, karenanya  harus dibunuh. Niat dan rencana tersebut sempat bocor pada pejabat Hadat yang setia pada putra mahkota yakni Bumi Paroko. Bumi Paroko tidak menginginkan kejadian yang tidak berprikemanusiaan  di Mpori Wera itu terulang kembali. Mereka bertindak cepat memindahkan La Kai dari persembunyiannya di Desa Teke ke Desa Kalodu di kawasan Wawo Tengah. Proses pemindahan dipimpin oleh Rato Waro Bewi pemilik Lewisape.
Kedatangan Agama Islam
Setelah dua tahun kemelut berjalan, utusan Raja Gowa (Sulawesi Selatan) terdiri dari para mubaliq Islam tiba di Sape, Bima 1028 H (1617 M). Pada malam harinya, mereka menemui Ruma Bumi Jara (penguasa di Sape) untuk menyampaikan bahwa mereka ingin memberi bingkisan pada Mangku Bumi atau Tureli Nggampo. Utusan belum mengetahui sebelumnya bahwa Mangku Bumi telah meninggal dunia. Para utusan tersebut selanjutnya diajak oleh Ruma Bumi Jara menemui adik kandung Mangku Bumi , Rato Waro Bewi. Saat utusan datang, La Mbila bertugas menjaga keselamatan La Kai dalam persembunyian di Desa Kalodu. Bingkisan Ci’lo (piring emas) diserahkan kepada Rato Waro Bewi, sedangkan kain Bugis dan keris untuk La Mbila (putra dari Rato Waro Bewi). Surat dari Daeng Malabo dibaca bersama dan ajakan yang termuat dalam surat tersebut dapat diterima. Kejadian ini mengingatkan kepada perjanjian antara Raja Ma Ntau Asi Sawo dengan Sultan Gowa yang menyatakan kesediaannya menerima agama Islam dengan kata lain pernyataan itu baru dapat direalisasi oleh generasi selanjutnya. Nampaknya para pejabat Hadat terutama Bumi Jara Sape bersama Bumi Paroko termasuk kelompok yang menentang Raja Ma Ntau Asi Peka secara diam-diam. Mereka saling berhubungan satu dengan lainnya dalam melindungi putera La Kai yang disembunyikan di Desa Kalodu. Mereka merencanakan untuk menobatkan putera La Kai sebagai Jena Teke. Rencana itu menjadi lebih matang bertepatan dengan kedatangan utusan Sultan Gowa. Melalui utusan mereka meminta suaka politik dan bantuan militer dari Sultan Gowa.  Di desa Kalodu empat bersaudara keturunan raja, yakni putera La Kai Ruma Ma Bata Wadu, La Mbila, Bumi Jara Sape dan Manuru Bata bersumpah setia yang dikenal dengan “Sumpah Darah Daging”. Pada tanggal 15 rabiul awal 1030 H (1620 M) keempat keturunan Raja Bima masuk Islam di Sape. Pengucapan 2 kalimat syahadat diikuti pula oleh para pengikut dan pengawal setia. Saat itu empat keturunan Raja Bima menyesuaikan namanya menurut Islam, masing-masing :
1). Putera La Kai      = Abdul Kahir, Ruma  Ma Bata Wadu
2). La Mbila               = Jalaluddin
3). Bumi Jara Sape  = Awaluddin
4). Manuru Bata      = Sirajuddin
Dalam perjalanan kembali ke Desa Kalodu, di Raba Parapi Desa Parangina, Sape, mereka mengucapkan sumpah antara keempat keturunan raja dengan para pengikut dan pengawal setia yang telah memeluk agama Islam. Dengan didahului menyebut nama Allah dan Rasulullah mereka bersumpah :
1). Memperkokoh kesetiaan kepada putera mahkota Abdul Kahir.
2). Seorang dari mereka tidak boleh tunduk kepada perintah orang lain      termasuk Raja Ma Ntau Asi Peka.
3). Anak cucu mereka terikat dengan sumpah.
4). Jika ada yang melanggar sumpah sama halnya dengan minum racun.
Dari Raba, keempat keturunan raja bersama empat  gurunya diiringi para pengikutnya melanjutkan perjalanan ke Desa Kalodu melalui Desa Sari. Di sana para mubaliq mengajak penduduk desa untuk masuk Islam. Untuk menghimpun jamaah serta memperingati kejadian bersejarah itu di Desa Kalodu didirikan masjid. Masjid itu dibangun berbentuk segi empat, tiada bermihrab serta bertiang delapan dengan persegi delapan pula.
1). Bentuk segi empat pada masjid itu melambangkan keempat anak raja yang telah memeluk agama Islam.
2). Tiang delapan batang melambangkan kedelapan orang sepakat mempersatukan kekuatan guna mengemban tugas-tugas pada massa yang akan datang.
3). Tiang persegi delapan melambangkan penjuru angin yang bermakna dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun mereka tetap bersatu.
4). Tiada bermihrab merupakan siasat agar keberadaan masjid tidak mudah dikenal  musuh yakni pengikut Raja Salisi.
Bila dilihat dari makna bentuk dan konstruksi masjid mirip dengan candra sangkala. Menjelang kembalinya 4 orang mubaliq utusan Sultan Gowa, Jena Teke Abdul Kahir Ma Bata Wadu meminta kepada Sultan Gowa, Bone dan Luwu untuk mengirimkan bala bantuan militer untuk menumpas Raja Salisi yang berkuasa saat itu. Pada tahun itu juga yakni 1623 M, Sultan Gowa, Karaeng Matowaja mengirim ekspedisi militer untuk menyerang Kerajaan Bima. Namun serangan itu dapat dipukul mundur oleh pasukan Raja Salisi. Tidak lama kemudian ekspedisi ke – II dikirim lagi. Dalam ekspedisi ke II ini ikut bertempur laskar Gowa bersama Jena Teke Abdul Kahir beserta pengikut setia dan rakyat yang telah memeluk agama Islam. Banyak laskar Gowa dan warga Bima yang tewas dalam pertempuran itu, sehingga mereka mengundurkan diri lalu kembali ke Makassar. Dalam gerakan mundur ini turut pula keempat keturunan Raja Bima. Rutenya  melalui Sape, Nanga Kanda dan Sangiang. Sedangkan untuk menahan gerak maju laskar Salisi ditugaskan Rato Waro Bewi. Rato Waro Bewi menghadang laskar Raja Salisi yang dipimpin Bumi Luma RasanaE yang cukup tangguh di Gunung Doro Cumpu. Laskar Rato Waro Bewi menghalangi gerak maju laskar Raja Salisi sehingga memberikan kesempatan pada Jena Teke Abdul Kahir bersama laskar Gowa untuk meninggalkan daratan menuju Pulau Sangiang. Tugas ini dibayar mahal dengan tewasnya Rato Waro Bewi yang kemudian dikenal dengan  Gunung Doro Cumpu untuk mengabadikan semangat juangnya sampai titik darah penghabisan. Cumpu (dalam bahasa Bima = habis). Warga Wera membantu menyelamatkan Jena Teke Abdul Kahir bersama rombongan dengan menyediakan sejumlah perahu diseberangi ke Pulau Sangiang, sehingga terhindar dari kejaran musuh. Atas jasa dan keberaniannya yang tulus itu, Jena Teke Abdul Kahir mengeluarkan pernyataan di tempat itu bahwa “orang Wera adalah saudara”.  Pernyataan itu dalam Sejarah Bima dikenal dengan Perjanjian Dengan Orang Wera. Berhari-hari Jena Teke dan rombongan di Sangiang sampai akhirnya datang perahu yang mengangkut mereka ke Makassar. Di Makassar, Jene Teke Abdul Kahir dan tiga saudara sepupunya diterima Raja Tallo, Bicara Gowa dan kemudian menghadap Sultan Gowa. Selama berada di sana, mereka mempelajari ilmu pemerintahan serta memperdalam  ilmu agama Islam pada ulama besar Abdul Makmur Datu ri Bandang  dan Khatib Bungsu Datu ri Tiro. Secara khusus La Mbila Jalaluddin mempelajari ilmu perang pada Karaeng Botonompo panglima perang Kerajaan Gowa. Beberapa tahun lamanya sejak 1613 Sultan Gowa tidak mengirim ekspedisi ke Bima. Pasalnya, saat itu kerajaan Gowa sedang berperang dengan Kerajaan Bone tentang penghapusan perbudakan. Di samping itu Sultan Kraeng Matowaja mangkat (1630) dengan gelar Anumerta Tumenanga ri Agamanna. Sebagai penggantinya ditunjuk puteranya Kraeng Kalakiung  dengan gelar Sultan Muhammad Said disebut juga dengan nama Sultan Malikussaid (1048 H). Sultan Muhammad Said sangat taat beragama dan keras hati. Dalam masa pemeirntahannya dikirim ekspedisi ke III ke Bima pada bulan Muharram 1050 H (1640 M). Dalam ekspedisi ke III ini adalah gabungan antara laskar Gowa, Tallo, Bone dan laskar Bima yang dipimpin La Mbila Jalaluddin. Ekspedisi gabungan dipimpin oleh Datu Patiro Bone  dengan kekuatan 20 perahu bersenjata dan 10 perahu perbekalan sampai dengan selamat ke Bima. Kontak senjata segera terjadi, perang meletus antara laskar gabungan dengan laskar Raja Salisi. Laskar gabungan terlalu kuat untuk  dilawan. Raja Ma Ntau Asi Peka (Raja Salisi) bersama laskarnya mengundurkan diri ke pedalaman. Laskar pimpinan La Mbila Jalaluddin dengan Manuru Suntu mengejarnya ke Dompu sampai di Desa Mata. Di sana Raja Salisi dibiarkan menyendiri bersama sisa laskarnya sampai dengan meninggal dunia  di Mata. Manuru Suntu alias Sirajuddin menetap di Dompu untuk mensyiarkan agama Islam. Kemenangan ekspedisi ke III dilaporkan ke Sultan Gowa Muhammad Said dan kepada Jena Teke Abdul Kahir. Mandapatkan laporan itu Jena Teke Abdul Kahir, Bumi Jara Awaluddin bersama gurunya Datu ri Bandang dan Datu ri Tiro berangkat ke Bima. Pada tanggal 15 Rabiul-awal 1050 H, Jena Teke Abdul Kahir dinobatkan sebagai Raja Bima dengan gelar Sultan Abdul Kahir Rumata Ma Bata Wadu. Rumata La Mbila Jalaluddin memayungkan payung kerajaan dan menyisipkan keris Samparaja kepada Sultan Abdul Kahir sesuai ketentuan Hadat Kerajaan Bima. Dengan demikian berakhirlah kemelut politik di Kerajaan Bima selama kurang lebih 20 tahun. Langkah pertama yang dilakukan Sultan Abdul Kahir adalah meng-Islam-kan kalangan keluarga istana dan pejabat Hadat. Mengetahui raja dan keluarga istana sudah memeluk agama Islam, secara serentak rakyat Bima mengikutinya.  Hanya sebagian kecil yang enggan masuk Islam kemudian mengasingkan diri ke pedalaman dan tetap mempertahankan warisan kepecayaan leluhurnya Marafu. Sultan  bersama ulama bekerja keras berpacu mensiarkan Islam di wiayah kerajaan Bima. Sebelum kembali ke kerajaan Gowa, dua ulama besar Datu ri Bandang dan Datu ri Tiro mengadakan perjanjian dengan sultan Abdul Kahir yang isinya :
1). Kedua ulama menyanggupi untuk mendatangkan mubaliq pengganti ke Bima.
2). Sultan mengucapkan sumpah setia kepada gurunya.
Perjanjian itu diucapkan di hadapan Hadat dan rakyat di saat berpisah. Sultan Abdul Kahir tidak sempat menyongsong sendiri kedatangan mubaliq anak cucu gurunya karena keburu mangkat.
Menurut Dag Boek Raja Gowa dan Tallo, Sultan Abdul Kahir Rumata Ma Bata Wadu mengkat pada tanggal 14 Desember  1640 Masehi. Sultan dimakamkan di Doro Nteli di pemakaman Tanah Taraha.
Kerajaan Bima era Islam yang penuh kedamaian dibangun melalui pengorbanan besar, penderitaan panjang dengan cucuran air mata, keringat dan darah. Sejak Sultan Abdul Kahir Rumata Ma Bata memegang tampuk kekuasaan, hubungan Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa semakin erat. Hubungan erat ini dibuktikan dengan jalinan pernikahan antara Sultan Abdul Kahir dengan bangsawan Kerajaan Gowa. Berikut urutan pernikahan dari silsilah kedua kerajaan :
1).  Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I) menikah dengan Daeng Sikontu, Putri Karaeng Kasuarang (adik ipar Sultan Alauddin) pada tahun 1625. Pernikahan       ini melahirkan Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke-II).
2).  Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke- II) menikah dengan Karaeng Bonto Je’ne (adik kandung Sultan Hasanuddin) tanggal 13 April 1646. Pernikahan ini melahirkan Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) pada tahun 1651.
3).  Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) menikah dengan Daeng Ta Memang anaknya Raja Tallo pada tanggal 7 Mei 1684. Dari pernikahan tersebut melahirkan Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke-IV).
4).  Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke IV) menikah dengan Fatimah Karaeng Tanatana (putri Karaeng Bessei) pada tanggal 8 Agustus 1693. Pernikahan tersebut melahirkan Sultan Hasanuddin (sultan Bima ke- V).
5).  Sultan Hasanuddin (Sultan Bima ke- V) menikah dengan Karaeng Bissa Mpole (anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto Mate’ne) pada tanggal 12 september 1704. Dari pernikahan ini melahirkan Sultan Alaudin Muhammad Syah pada tahun 1707 (Sultan Bima ke- VI).
6).  Sultan Alaudin Muhammad Syah (Sultan Bima ke- VI) menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji (putrinya Sultan Sirajuddin, Gowa) pada tahun 1727. Pernikahan ini melahirkan Kumala Bumi Pertiga dan Abdul Kadim yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- VII pada tahun 1747. Ketika itu beliau baru berumur 13 tahun. Kumala Bumi Pertiga putrinya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji ini kemudian menikah dengan Abdul Kudus (putra Sultan Gowa ) pada tahun 1747.  Pernikahan ini melahirkan Amas Madina Batara Gowa ke-II.
7).  Sultan Abdul Kadim yang lahir pada tahun 1729 (isterinya tidak terlacak) melahirkan Sultan Abdul Hamid pada tahun 1762 dan Sultan Abdul Hamid diangkat menjadi Sultan Bima ke- VIII pada tahun 1773.
8).  Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII) dari pernikahannya ( istrinya tidak terlacak) melahirkan Sultan Ismail pada tahun 1795. Ketika Sultan Abdul Hamid meninggal dunia pada tahun 1819, pada tahun ini juga Sultan Ismail diangkat menjadi Sultan Bima ke- IX.
9).  Sultan Ismail (Sultan Bima ke- IX) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak) melahirkan Sultan Abdullah pada tahun 1827.
10). Sultan Abdullah (Sultan Bima ke- X) menikah dengan Sitti Saleha Bumi Pertiga, putrinya Tureli Belo. Dari pernikahan ini melahirkan Abdul Aziz dan Sultan Ibrahim.
11). Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) dari pernikahannya melahirkan Sultan Salahuddin yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- XII pada tahun 1888 dan memimpin kesultanan hingga tahun 1917.
12). Sultan Salahuddin (Sultan Bima ke- XII) sebagai Sultan Bima terakhir dari pernikahannya melahirkan Abdul Kahir II (Ama Ka’u Kahi) yang biasa dipanggil dengan Putra Kahi dan St Maryam Rahman (Ina Ka’u Mari). Putra Kahir ini kemudian menikah dengan putri dari keturunan Raja Banten (saudari kandung Ekky Syachruddin). Dari pernikahannya  melahirkan Fery Zulkarnaen.




Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Featured Post 4

Featured Post 8

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Ruma Hawo BLOG - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template