Menjelang
akhir abad ke 16 merupakan puncak kemakmuran Kerajaan Bima di bawah
kekuasaan Raja Ma Ntau Asi Sawo. Pada masanya diadakan perjanjian
persahabatan dengan Raja Gowa bahwa Raja Bima tidak mengadakan hubungan
dagang dengan Kompeni dan Raja Bima bersedia menerima Islam. Namun
Raja Ma Ntau Asi Sawo mangkat sebelum memeluk agama Islam. Raja Ma Ntau
Sawo memiliki dua putra, yang tertua sudah dilantik menjadi Raja Muda
(Jena Teke) yang kemudian dikenal dengan nama Ruma Ma Mbora di Mpori
Wera (raja yang meninggal dunia di padang rumput Wera). Adiknya bernama
La Kai yang masih kecil. Jabatan Tureli Nggampo dipangku oleh pamannya
yang bernama Salisi.
Dalam masa kekosongan itu, Tureli Nggampo Salisi mengangkat dirinya
sendiri menjadi Raja Bima dengan gelar Ruma Ma Ntau Asi Peka. Saat itu
dia berdalih karena Jena Teke masih kecil. Tindakan Salisi sudah jelas
melanggar ketentuan Hadat karena melampaui dan mengingkari sumpah
turun-temurun yang dibuat oleh Ruma Manggampo Donggo dan Bicara Bilmana.
Sebenarnya sumpah itu telah diketahui oleh Salisi karena senantiasa
dibaca dan diingatkan pada saat-saat tertentu. Karena itu jelaslah bahwa
tindakan Salisi mendapat murka leluhur. Salisi pun mengetahui akan
keinginan rakyat dan Hadat bahwa putra mahkota (Jena Teke) kelak
diangkat menjadi raja. Salisi mulai mencari akal dan mengatur siasat
untuk melenyapkan keponakannya sendiri demi memenuhi syahwatnya yang
ingin memegang tampuk kekuasaan. Salisi memerintahkan Bumi Luma RasanaE
guna menyiapkan perburuan di padang rumput Wera. Salisi bersama
keponakannya serta diiringi pejabat hadat dan Hulubalang ikut serta
dalam perburuan yang direncanakan. Di tengah asyiknya berburu, Salisi
memerintahkan anak buahnya untuk membakar sekeliling padang rumput Mpori
Wera. Keponakannya yang asyik berburu disertai pengawalnya yang setia
tidak mempunyai kesempatan untuk meloloskan diri dari kobaran
api. Akhirnya Jena Teke terpanggang oleh amukan si jago merah bersama
pengawalnya. Sekembalinya ke istana, Salisi mengumumkan kepada Hadat dan
rakyat bahwa Jena Teke telah hilang dalam perburuan. Salisi pun telah
berhasil menyingkirkan pewaris kerajaan yang sah. Jena Teke memiliki
seorang adik yang masih kecil bernama La Kai, sekaligus sebagai pewaris
kerajaan yang sah. Oleh Salisi, La Kai dianggap sebagai faktor
penghalang ambisinya menjadi raja. Para pejabat yang masih setia dengan
keturunan raja yang sah, tanggap dengan ambisi Salisi, sehingga La kai
disembunyikan ke Desa Teke. Persengkongkolan antara Raja Salisi dengan
Bumi Luma RasanaE yang berambsi pula menjadi raja setelah Salisi tiada,
sehingga ikut berpartisipasi melenyapkan seluruh keturunan ahli waris
kerajaan. Putera La Kai dianggap sebagai kendala besar yang akan
menentukan sukses tidaknya ambisi mereka menjadi penguasa, karenanya
harus dibunuh. Niat dan rencana tersebut sempat bocor pada pejabat Hadat
yang setia pada putra mahkota yakni Bumi Paroko. Bumi Paroko tidak
menginginkan kejadian yang tidak berprikemanusiaan di Mpori Wera itu
terulang kembali. Mereka bertindak cepat memindahkan La Kai dari
persembunyiannya di Desa Teke ke Desa Kalodu di kawasan Wawo Tengah.
Proses pemindahan dipimpin oleh Rato Waro Bewi pemilik Lewisape.
Kedatangan Agama Islam
Setelah dua tahun kemelut berjalan, utusan Raja Gowa (Sulawesi
Selatan) terdiri dari para mubaliq Islam tiba di Sape, Bima 1028 H (1617
M). Pada malam harinya, mereka menemui Ruma Bumi Jara (penguasa di
Sape) untuk menyampaikan bahwa mereka ingin memberi bingkisan pada
Mangku Bumi atau Tureli Nggampo. Utusan belum mengetahui sebelumnya
bahwa Mangku Bumi telah meninggal dunia. Para utusan tersebut
selanjutnya diajak oleh Ruma Bumi Jara menemui adik kandung Mangku Bumi ,
Rato Waro Bewi. Saat utusan datang, La Mbila bertugas menjaga
keselamatan La Kai dalam persembunyian di Desa Kalodu. Bingkisan Ci’lo
(piring emas) diserahkan kepada Rato Waro Bewi, sedangkan kain Bugis dan
keris untuk La Mbila (putra dari Rato Waro Bewi). Surat dari Daeng
Malabo dibaca bersama dan ajakan yang termuat dalam surat tersebut dapat
diterima. Kejadian ini mengingatkan kepada perjanjian antara Raja Ma
Ntau Asi Sawo dengan Sultan Gowa yang menyatakan kesediaannya menerima
agama Islam dengan kata lain pernyataan itu baru dapat direalisasi oleh
generasi selanjutnya. Nampaknya para pejabat Hadat terutama Bumi Jara
Sape bersama Bumi Paroko termasuk kelompok yang menentang Raja Ma Ntau
Asi Peka secara diam-diam. Mereka saling berhubungan satu dengan lainnya
dalam melindungi putera La Kai yang disembunyikan di Desa Kalodu.
Mereka merencanakan untuk menobatkan putera La Kai sebagai Jena Teke.
Rencana itu menjadi lebih matang bertepatan dengan kedatangan utusan
Sultan Gowa. Melalui utusan mereka meminta suaka politik dan bantuan
militer dari Sultan Gowa. Di desa Kalodu empat bersaudara keturunan
raja, yakni putera La Kai Ruma Ma Bata Wadu, La Mbila, Bumi Jara Sape
dan Manuru Bata bersumpah setia yang dikenal dengan “Sumpah Darah
Daging”. Pada tanggal 15 rabiul awal 1030 H (1620 M) keempat keturunan
Raja Bima masuk Islam di Sape. Pengucapan 2 kalimat syahadat diikuti
pula oleh para pengikut dan pengawal setia. Saat itu empat keturunan
Raja Bima menyesuaikan namanya menurut Islam, masing-masing :
1). Putera La Kai = Abdul Kahir, Ruma Ma Bata Wadu
2). La Mbila = Jalaluddin
3). Bumi Jara Sape = Awaluddin
4). Manuru Bata = Sirajuddin
Dalam perjalanan kembali ke Desa Kalodu, di Raba Parapi Desa
Parangina, Sape, mereka mengucapkan sumpah antara keempat keturunan raja
dengan para pengikut dan pengawal setia yang telah memeluk agama Islam.
Dengan didahului menyebut nama Allah dan Rasulullah mereka bersumpah :
1). Memperkokoh kesetiaan kepada putera mahkota Abdul Kahir.
2). Seorang dari mereka tidak boleh tunduk kepada perintah orang lain termasuk Raja Ma Ntau Asi Peka.
3). Anak cucu mereka terikat dengan sumpah.
4). Jika ada yang melanggar sumpah sama halnya dengan minum racun.
Dari Raba, keempat keturunan raja bersama empat gurunya diiringi
para pengikutnya melanjutkan perjalanan ke Desa Kalodu melalui Desa
Sari. Di sana para mubaliq mengajak penduduk desa untuk masuk Islam.
Untuk menghimpun jamaah serta memperingati kejadian bersejarah itu di
Desa Kalodu didirikan masjid. Masjid itu dibangun berbentuk segi empat,
tiada bermihrab serta bertiang delapan dengan persegi delapan pula.
1). Bentuk segi empat pada masjid itu melambangkan keempat anak raja yang telah memeluk agama Islam.
2). Tiang delapan batang melambangkan kedelapan orang sepakat
mempersatukan kekuatan guna mengemban tugas-tugas pada massa yang akan
datang.
3). Tiang persegi delapan melambangkan penjuru angin yang bermakna
dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun mereka tetap bersatu.
4). Tiada bermihrab merupakan siasat agar keberadaan masjid tidak mudah dikenal musuh yakni pengikut Raja Salisi.
Bila
dilihat dari makna bentuk dan konstruksi masjid mirip dengan candra
sangkala. Menjelang kembalinya 4 orang mubaliq utusan Sultan Gowa, Jena
Teke Abdul Kahir Ma Bata Wadu meminta kepada Sultan Gowa, Bone dan Luwu
untuk mengirimkan bala bantuan militer untuk menumpas Raja Salisi yang
berkuasa saat itu. Pada tahun itu juga yakni 1623 M, Sultan Gowa,
Karaeng Matowaja mengirim ekspedisi militer untuk menyerang Kerajaan
Bima. Namun serangan itu dapat dipukul mundur oleh pasukan Raja Salisi.
Tidak lama kemudian ekspedisi ke – II dikirim lagi. Dalam ekspedisi ke
II ini ikut bertempur laskar Gowa bersama Jena Teke Abdul Kahir beserta
pengikut setia dan rakyat yang telah memeluk agama Islam. Banyak laskar
Gowa dan warga Bima yang tewas dalam pertempuran itu, sehingga mereka
mengundurkan diri lalu kembali ke Makassar. Dalam gerakan mundur ini
turut pula keempat keturunan Raja Bima. Rutenya melalui Sape, Nanga
Kanda dan Sangiang. Sedangkan untuk menahan gerak maju laskar Salisi
ditugaskan Rato Waro Bewi. Rato Waro Bewi menghadang laskar Raja Salisi
yang dipimpin Bumi Luma RasanaE yang cukup tangguh di Gunung Doro Cumpu.
Laskar Rato Waro Bewi menghalangi gerak maju laskar Raja Salisi
sehingga memberikan kesempatan pada Jena Teke Abdul Kahir bersama laskar
Gowa untuk meninggalkan daratan menuju Pulau Sangiang. Tugas ini
dibayar mahal dengan tewasnya Rato Waro Bewi yang kemudian dikenal
dengan Gunung Doro Cumpu untuk mengabadikan semangat juangnya sampai
titik darah penghabisan. Cumpu (dalam bahasa Bima = habis). Warga Wera
membantu menyelamatkan Jena Teke Abdul Kahir bersama rombongan dengan
menyediakan sejumlah perahu diseberangi ke Pulau Sangiang, sehingga
terhindar dari kejaran musuh. Atas jasa dan keberaniannya yang tulus
itu, Jena Teke Abdul Kahir mengeluarkan pernyataan di tempat itu bahwa
“orang Wera adalah saudara”. Pernyataan itu dalam Sejarah Bima dikenal
dengan Perjanjian Dengan Orang Wera. Berhari-hari Jena Teke dan
rombongan di Sangiang sampai akhirnya datang perahu yang mengangkut
mereka ke Makassar. Di Makassar, Jene Teke Abdul Kahir dan tiga saudara
sepupunya diterima Raja Tallo, Bicara Gowa dan kemudian menghadap Sultan
Gowa. Selama berada di sana, mereka mempelajari ilmu pemerintahan serta
memperdalam ilmu agama Islam pada ulama besar Abdul Makmur Datu ri
Bandang dan Khatib Bungsu Datu ri Tiro. Secara khusus La Mbila
Jalaluddin mempelajari ilmu perang pada Karaeng Botonompo panglima
perang Kerajaan Gowa. Beberapa tahun lamanya sejak 1613 Sultan Gowa
tidak mengirim ekspedisi ke Bima. Pasalnya, saat itu kerajaan Gowa
sedang berperang dengan Kerajaan Bone tentang penghapusan perbudakan. Di
samping itu Sultan Kraeng Matowaja mangkat (1630) dengan gelar Anumerta
Tumenanga ri Agamanna. Sebagai penggantinya ditunjuk puteranya Kraeng
Kalakiung dengan gelar Sultan Muhammad Said disebut juga dengan nama
Sultan Malikussaid (1048 H). Sultan Muhammad Said sangat taat beragama
dan keras hati. Dalam masa pemeirntahannya dikirim ekspedisi ke III ke
Bima pada bulan Muharram 1050 H (1640 M). Dalam ekspedisi ke III ini
adalah gabungan antara laskar Gowa, Tallo, Bone dan laskar Bima yang
dipimpin La Mbila Jalaluddin. Ekspedisi gabungan dipimpin oleh Datu
Patiro Bone dengan kekuatan 20 perahu bersenjata dan 10 perahu
perbekalan sampai dengan selamat ke Bima. Kontak senjata segera terjadi,
perang meletus antara laskar gabungan dengan laskar Raja Salisi. Laskar
gabungan terlalu kuat untuk dilawan. Raja Ma Ntau Asi Peka (Raja
Salisi) bersama laskarnya mengundurkan diri ke pedalaman. Laskar
pimpinan La Mbila Jalaluddin dengan Manuru Suntu mengejarnya ke Dompu
sampai di Desa Mata. Di sana Raja Salisi dibiarkan menyendiri bersama
sisa laskarnya sampai dengan meninggal dunia di Mata. Manuru Suntu
alias Sirajuddin menetap di Dompu untuk mensyiarkan agama Islam.
Kemenangan ekspedisi ke III dilaporkan ke Sultan Gowa Muhammad Said dan
kepada Jena Teke Abdul Kahir. Mandapatkan laporan itu Jena Teke Abdul
Kahir, Bumi Jara Awaluddin bersama gurunya Datu ri Bandang dan Datu ri
Tiro berangkat ke Bima. Pada tanggal 15 Rabiul-awal 1050 H, Jena Teke
Abdul Kahir dinobatkan sebagai Raja Bima dengan gelar Sultan Abdul Kahir
Rumata Ma Bata Wadu. Rumata La Mbila Jalaluddin memayungkan payung
kerajaan dan menyisipkan keris Samparaja kepada Sultan Abdul Kahir
sesuai ketentuan Hadat Kerajaan Bima. Dengan demikian berakhirlah
kemelut politik di Kerajaan Bima selama kurang lebih 20 tahun. Langkah
pertama yang dilakukan Sultan Abdul Kahir adalah meng-Islam-kan kalangan
keluarga istana dan pejabat Hadat. Mengetahui raja dan keluarga istana
sudah memeluk agama Islam, secara serentak rakyat Bima mengikutinya.
Hanya sebagian kecil yang enggan masuk Islam kemudian mengasingkan diri
ke pedalaman dan tetap mempertahankan warisan kepecayaan leluhurnya
Marafu. Sultan bersama ulama bekerja keras berpacu mensiarkan Islam di
wiayah kerajaan Bima. Sebelum kembali ke kerajaan Gowa, dua ulama besar
Datu ri Bandang dan Datu ri Tiro mengadakan perjanjian dengan sultan
Abdul Kahir yang isinya :
1). Kedua ulama menyanggupi untuk mendatangkan mubaliq pengganti ke Bima.
2). Sultan mengucapkan sumpah setia kepada gurunya.
Perjanjian itu diucapkan di hadapan Hadat dan rakyat di saat
berpisah. Sultan Abdul Kahir tidak sempat menyongsong sendiri kedatangan
mubaliq anak cucu gurunya karena keburu mangkat.
Menurut Dag Boek Raja Gowa dan Tallo, Sultan Abdul Kahir Rumata Ma
Bata Wadu mengkat pada tanggal 14 Desember 1640 Masehi. Sultan
dimakamkan di Doro Nteli di pemakaman Tanah Taraha.
Kerajaan Bima era Islam yang penuh kedamaian dibangun melalui
pengorbanan besar, penderitaan panjang dengan cucuran air mata, keringat
dan darah. Sejak Sultan Abdul Kahir Rumata Ma Bata memegang tampuk
kekuasaan, hubungan Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa semakin erat.
Hubungan erat ini dibuktikan dengan jalinan pernikahan antara Sultan
Abdul Kahir dengan bangsawan Kerajaan Gowa. Berikut urutan pernikahan
dari silsilah kedua kerajaan :
1). Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I) menikah dengan Daeng Sikontu,
Putri Karaeng Kasuarang (adik ipar Sultan Alauddin) pada tahun 1625.
Pernikahan ini melahirkan Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke-II).
2). Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke- II) menikah dengan Karaeng
Bonto Je’ne (adik kandung Sultan Hasanuddin) tanggal 13 April 1646.
Pernikahan ini melahirkan Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) pada
tahun 1651.
3). Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) menikah dengan Daeng Ta
Memang anaknya Raja Tallo pada tanggal 7 Mei 1684. Dari pernikahan
tersebut melahirkan Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke-IV).
4). Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke IV) menikah dengan Fatimah
Karaeng Tanatana (putri Karaeng Bessei) pada tanggal 8 Agustus 1693.
Pernikahan tersebut melahirkan Sultan Hasanuddin (sultan Bima ke- V).
5). Sultan Hasanuddin (Sultan Bima ke- V) menikah dengan Karaeng
Bissa Mpole (anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto Mate’ne)
pada tanggal 12 september 1704. Dari pernikahan ini melahirkan Sultan
Alaudin Muhammad Syah pada tahun 1707 (Sultan Bima ke- VI).
6). Sultan Alaudin Muhammad Syah (Sultan Bima ke- VI) menikah dengan
Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji (putrinya Sultan Sirajuddin, Gowa) pada
tahun 1727. Pernikahan ini melahirkan Kumala Bumi Pertiga dan Abdul
Kadim yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- VII pada tahun
1747. Ketika itu beliau baru berumur 13 tahun. Kumala Bumi Pertiga
putrinya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca
Raji ini kemudian menikah dengan Abdul Kudus (putra Sultan Gowa )
pada tahun 1747. Pernikahan ini melahirkan Amas Madina Batara Gowa
ke-II.
7). Sultan Abdul Kadim yang lahir pada tahun 1729 (isterinya tidak
terlacak) melahirkan Sultan Abdul Hamid pada tahun 1762 dan Sultan Abdul
Hamid diangkat menjadi Sultan Bima ke- VIII pada tahun 1773.
8). Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII) dari pernikahannya (
istrinya tidak terlacak) melahirkan Sultan Ismail pada tahun 1795.
Ketika Sultan Abdul Hamid meninggal dunia pada tahun 1819, pada tahun
ini juga Sultan Ismail diangkat menjadi Sultan Bima ke- IX.
9). Sultan Ismail (Sultan Bima ke- IX) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak) melahirkan Sultan Abdullah pada tahun 1827.
10). Sultan Abdullah (Sultan Bima ke- X) menikah dengan Sitti Saleha
Bumi Pertiga, putrinya Tureli Belo. Dari pernikahan ini melahirkan Abdul
Aziz dan Sultan Ibrahim.
11). Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) dari pernikahannya
melahirkan Sultan Salahuddin yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima
ke- XII pada tahun 1888 dan memimpin kesultanan hingga tahun 1917.
12). Sultan Salahuddin (Sultan Bima ke- XII) sebagai Sultan Bima
terakhir dari pernikahannya melahirkan Abdul Kahir II (Ama Ka’u Kahi)
yang biasa dipanggil dengan Putra Kahi dan St Maryam Rahman (Ina Ka’u
Mari). Putra Kahir ini kemudian menikah dengan putri dari keturunan Raja
Banten (saudari kandung Ekky Syachruddin). Dari
pernikahannya melahirkan Fery Zulkarnaen.
Home »
» Kerajaan Bima Bangkit Kembali Bersama Islam
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !