Home »
» Sejarah Awal Kerajaan Bima Dan Masyarakat
Sejarah Awal Kerajaan Bima Dan Masyarakat
Written By Unknown on Jumat, 14 Februari 2014 | 07.03
MULA – MULA Kerajaan Bima telah menjadi legenda sejak Sang Jin Jan Wa
Manjan sampai ke masa menjelang kedatangan Sang Bima yang melakukan
pemahatan situs Wadu Pa’a banyak mempunyai keunikan secara langsung
mempengaruhi keberadaan tanah Bima dan masyarakat Mbojo yang penuh
ramah tamah dan keuletan yang bibarengi dengan prinsip hidup yang keras
dan berpandangan luas serta bertatakrama yang tinggi. Masa sebelum ada
penguasa di tanah Bima, yang walaupun berkelompok adanya, Tanah Bima
merupakan suatu wilayah yang menjadi tempat terdamparnya suku pencari
wilayah penyebaran yang berasal dari dataran Asia Tenggara yakni suku
Dongsong dari Yunan (Vietnam). Mereka semula mendarat di pesisir utara
Pulau Sumbawa (Bima) di desa yang sekarang namanya Sapunggu (Sam Mpung
Ngun) menyebar ke Utara, Barat, Timur dan Selatan Negeri. Mereka hidup
berkelompok dan membetuk marga sendiri-sendiri yang merupakan kelompok
awal penduduk Bima. Setelah lama mereka hidup berkelompok dalam naungan
pemerintahan versi dan adat masa itu, sampailah pada pencarian cara
berpemerintahan yang baik dan berdirinya Kerajaan Bima yang
diperkirakan terjadi tidak berapa lama setelah Situs Wadu Pa’a.
Diperkirakan terjadi + 750 M. ASAL MULA KERAJAAN BIMA Raja Pertama
Kerajaan Bima adalah Indra Zamrud yang seterusnya sebagaimana Silsilah
“BO” Nuntu Mantoi sehingga sampai kepada masa Raja (Sangaji) Ma Wa’a
Paju Longge yang mempunyai hubungan luas dengan kerajaan-kerajaan
lainnya di wilayah Nusantara, seperti Banten, Aceh, Kutai, Makassar
(Tallo), Gowa, Bugis, Ternate dan Jailolo serta masih banyak lagi yang
lainnya, terutama dalam status dan keberadaannya sebagai tempat
persinggahan dan pengambilan barang dagangan perahu-perahu niaga. Raja
ini banyak mengirim keluar saudara-saudaranya untuk belajar dan mencari
ilmu termasuk di antaranya adik-adiknya yang bernama Ma Wa’a Bilmana
dan Manggampo Donggo yang dikirim ke kerajaan Gowa dan Tallo.
Sekembalinya ke Bima, mereka membawa banyak perubahan dan kemajuan untuk
tanah dan masyarakat Bima. Seperti dalam hal tata pemerintahan dan
pengetahuan dalam bidang pertanian dan kemasyarakatan serta pertukangan
dan sebagainya. Setelah dilantiknya Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja
dan Manggampo Donggo sebagai Perdana Menteri, memang ada sedikit
kelemahan karena karir keduanya tidak sesuai dengan kedudukan dan
jabatannya sehingga terjadi saling pertukaran jabatan antara keduanya
dengan penuh permusyawaratan dan permufakatan. Manggampo Donggo
diserahkan tugas sebagai Raja oleh kakaknya Ma Wa’a Bilmana dan
sebaliknya Ma Wa’a Bilmana menjadi pengatur dan pelaksanaan
pemerintahan sebagai Mangku Bumi/Turelli Nggampo (Perdana Menteri).
PUNCAK KEJAYAAN KERAJAAN BIMA Pemerintahan berjalan lancar dan kerajaan
Bima semakin tersohor dengan dibantu oleh putera-putera mereka yang
bernama Ma Wa’a Ndapa dan Ma Wa’a Pili Tuta, Ruma Me’e (Putera
Manggampo Donggo) serta La Mbila I yang terkenal dengan gelar Ruma
Makapiri Solor dan Rato Ara sebagai ahli agama (Putera Ma Wa’a
Bilmana). Namun ketenaran kerajaan ini tidaklah begitu mulus jalannya
untuk kerajaan Bima, karena setelah berakhirnya Pemerintahan Sangaji Ma
Wa’a Ndapa, terjadi suatu perebutan kekuasaan antara putera-puteranya.
TITIK KEMUNDURAN KERAJAAN BIMA (MASA PERALIHAN) Puteranya bernama
Salisi Mantau Asi Peka berkhianat dan membunuh saudara-saudaranya
karena ingin merebut puncak pemerintahan. Salisi yang merupakan anak
gundik dari Sangaji Ma Wa’a Ndapa menurut keturunan garis lurus
sebagaimana bunyi sumpah yang telah diikrarkan oleh nenek-nenek
(kakek-kakek)-nya dengan sumpah Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo
sewaktu pengalihan wewenang dan kekuasaan, selama masih ada
saudara-saudaranya yang berdasarkan keturunan garis lurus sebagai
Pewaris kerajaan, tidak berhak menjadi raja dan ini sudah merupakan tata
hadat tanah Bima yang wajib ditaati dan dilaksanaka.
Saudara-saudaranya bernama Samara, Sarise dan La Sawo dibunuh dan
diracun oleh Salisi, serta kaki tangannya. Yang lebih sadis lagi, Jena
Teke (Raja Muda) putera dari raja Samara dibakar di Wera, yang terkenal
dengan adanya Jena Teke yang dibakar di Mpori Wera. Meski demikian,
Salisi masih belum aman karena disamping hadat tanah Bima tidak
merestui dan para Nuchi yang masih ada dan besar pengaruhnya pada
masyarakat dan rakyat Bima, yang merupakan masalah dan ganjalan yang
besar masih adanya Pewaris Kerajaan Putera dari La Sawo yang bernama La
Kai yang didukung oleh putera-putera La Mbila yang bernama Ama Lima Ma
Dai yang menjadi Tureli Nggampo saat itu dan Rato Waro Bewi yang
menjadi Rato Renda, yang secara gigih mempertahankan keberadaannya
sebagai Pewaris kerajaan dan Pemerintahan yang syah. Pewaris-pewaris
kerajaan ini berusaha melarikan diri menyingkir ke pedalaman Teke dan
selanjutnya ke Kalodu di mana rakyatnya masih patut dan taat pada
pemerintahan yang syah. Mereka bermukim di sana sampai datangnya “Fajar
Islam” yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari tanah Makassar, Gowa,
Luwu dan Tallo di Sape. Setelah mereka menerima Islam di Sape dan
dengan adanya sumpah di Dam Parapi yang juga merupakan Sumpah Darah
Daging untuk tetap bersatu dan saling membantu sehidup semati dalam
perjuangan membela kebenaran dan keadilan sampai saatnya pengangkara
murka Salisi dapat dihancurkan. MENUJU SISTEM PEMERINTAHAN KESULTANAN
Setelah berjuang dan banyak membawa korban suhadah dan dengan bantuan
Kerajaan Makasar, Gowa, Tallo, dan sebagainya, Salisi dapat dihancurkan
dengan kekuasaan kembali pada pewarisnya yang segera berubah menjadi
sistem pemerintahan yang bernafaskan Islam, yakni tata dan sistem
pemerintahan Kesultanan. Mulailah Bima menjadi Kerajaan Islam yang
dengan persetujuan Hadat Tanah Bima serta dengan dukungan segenap rakyat
dan masyarakat Bima melantik dan menobatkan La Kai (Jena Teka) yang
setelah masuk Islam bernama Abdul Kahir menjadi Sultan pertama Tanah
Bima dengan gelar Rumata Ma Bata Wadu, yang dibantu oleh Tureli Nggampo
La Mbila (Jalaludin) dan perangkat lainnya. Munculnya pemerintahan yang
penuh dengan sinar Islam yang juga tidak melupakan tata adat
leluhurnya terdahulu. BERPEDOMAN PADA FALSAFAH “MAJA LABO DAHU” Naka,
Ncuhi, Raja dan Sultan selalu berpedoman pada falsafah “MAJA LABO DAHU”
(malu dan takut) yang mengandung pengertian bahwa “mereka akan takut
dan malu pada dirinya sendiri, kepada masyarakat, terutama pada Tuhan
apabila melaksanakan kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan asas
musyawarah dan karawi kaboju yang dijiwai oleh ajaran agama dan adat
Islam”. Maja Labo Dahu merupakan falsafah kehidupan yang mengandung
nilai-nilai luhur yang dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan seluruh
masyarakat. Nilai-nilai luhur yang bersumber dari Maja Labo Dahu ialah :
(1) Tohompara nahu sura dou labo danana; (2) Edera Nahu sura dou
Marimpa; (3) Renta ba rera, kapoda ba ade karawi ba weki; (4) Nggahi
Rawi Pahu. Keempat nilai luhur dari Maja Labo Dahu tersebut di atas pada
hakekatnya merupakan perpaduan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan
lainnya. Sangaji dan rakyat harus melaksanakan falsafah secara utuh dan
konsekuen. “Toha Mpara nahu sura labo dana” yang berarti “biarkan aku
menderita asalkan demi rakyat dan negara”. Falsafah tersebut mampu
mengobarkan semangat pengabdian rakyat terhadap Kesultanan Bima sampai
pada pelaksana pemerintah. Penerapan falsafah berikut, yakni “Edera
nahu sura dou marimpa”, yang berarti “saya (Sultan) tidak penting
(bukan yang utama), yang utama dan penting adalah masyarakat secara
keseluruhan”. Falsafah ini pada hakekatnya mewajibkan sultan untuk
memperhatikan kepentingan rakyat banyak tanpa mempedulikan kepentingan
pribadi atau golongannya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari para
Raja, Sultan dan seluruh masyarakat harus berpedoman pada nilai-nilai
luhur “Nggahi Rawi Pahu” yang mengandung pengertian bahwa apa yang
telah diikrarkan harus dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Mereka
secara konsekuen melakukan tugas, agar mampu mewujudkan tujuan yang
telah disepakati. Bila gagal berarti ada di antara mereka yang
melanggar nilai falsafah “Renta ba rera kapoda ba ade karawi ba weki”
yang berarti “yang telah diikrarkan oleh lidah yang bersumber dari hati
nurani, harus mampu dikerjakan dan dilaksanakan oleh raga dan
jasmani”. AKHIRAN Jika kita cermati secara seksama, ternyata falsafah
Pancasila belum ada apa-apanya dibanding pengabdian dan penerapan
falsafah Maja Labo Dahu tersebut di masa silam, bahkan kelahiran
falsafah Maja Labo Dahu tersebut lebih dulu dan jauh melampaui
dibanding masa kelahiran falsafah Pancasila yang kita kenal sekarang
ini. Falsafah tersebut telah mengejewantah dan telah menjadi
nilai-nilai luhur yang menjadi dasar pemerintahan pada masa lalu, yang
wajib diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan nyata masyarakat Bima
hingga saat ini. Kesuksesan dan kejayaan yang berhasil dirangkul
Kesultanan Bima di masa lalu merupakan buah nyata penerapan falsafah
tersebut, terutama dalam mengimbangi, menyaingi, dan mengungguli
kerajaan-kerajaan lain di seluruh negeri. Berkat penerapan falsafah
tersebut pula, kompeni Belanda berhasil diusir dari tanah Bima untuk
selamanya. Semoga, falsafah tersebut masih membara, membakar semangat
juang rakyat Bima kapan dan di mana pun berada, untuk menggapai
kejayaan dan kegemilangan masyarakat dan tanah Bima hari ini dan ke
depan, serta kejayaan dan kegemilangan bangsa Indonesia tercinta.
Amin!!
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !